Banyak
cara yang dilakukan musisi untuk mengekspresikan rasa nasionalisme.
Dari cara yang halus dan sopan dalam menyanyikan liriknya, sampai cara
yang keras dan penuh teriakan kemarahan! Seperti halnya yang dilakukan
salah satu band beraliran punk. Tcukimay, band trash punk asal
Bandung yang selalu berpenampilan punk dengan gaya rambut khas mohawk,
kerap berteriak dengan lantang menggaungkan lirik-liriknya yang sarat
akan kritik pada pemerintah.
“Teu gableg ka era, teu gableg beungeut// Marentah sakahayang, teu gableg rarasaan// Asa aing pang alusna, asa aing pang benerna// Nincek kanu leutik, leletak kanu gede..”
Bahasa
itu, merupakan Bahasa Sunda yang sangat kasar, apalagi jika dihubungkan
kata-kata itu diucapkan oleh seseorang yang usianya lebih muda dari
lawan bicaranya, maka itu bukan lagi berarti kasar, tapi sebuah
tantangan!
Terjemah bahasa Indonesianya kurang lebih seperti ini,
“Tidak
punya rasa malu, tidak punya muka// memerintah semaunya, tanpa
perasaan// merasa diri sendiri paling baik dan paling benar// menginjak
(rakyat) kecil dan menjilat orang yang lebih tinggi (berkuasa)”
Lirik
selanjutnya dari kata itu sudah termasuk umpatan penuh kebencian dan
kekecewaan pada pemimpin yang diktator. Saya akan mensensornya. Ini
liriknya, “diktator ******// diktator *****// diktator ******// diktator, mati kau ******.” Saya harap tidak usah dipikirkan apa umpatan mereka pada pemimpin yang diktator.
Yang
jelas lagu yang diteriakan anak Punk penuh power itu merupakan ekspresi
nasionalisme anak muda yang selalu (sering) dicap sebagai orang-orang
yang berpenampilan urak-urakan. Bahkan tidak sedikit yang menganggapnya
sampah masyarakat.
Selain
Tcukimay, banyak lagi band-band beraliran punk yang selalu meneriakan
rasa nasionalisme, seperti halnya Band Jeruji dalam lagunya yang
berjudul Lawan. Kritik pedas pada pemerintah sangat jelas sekali dari pembuka lagunya saja, “Kami cinta negeri ini, tapi kami benci sistem yang ada, hanya ada satu kata, lawan!”
Apa
yang ingin mereka lawan? Sistem pemerintah? Sebetulnya lirik selanjutnya
adalah kata-kata yang menggelorakan semangat berjuang melawan kelakuan
para pemerintah negeri yang menindas rakyat. Seperti penggalan liriknya,
“Pukul terus tak kenal menyerah// hajar teruss hancurkan penguasa// lawan.. lawan..!!”
Memang
terkadang sangat ironis fenomena musik punk yang selalu menerikan
nasionalisme dan kebejatan pemerintah. Di satu sisi mereka berteriak
lantang sebagai sebuah kritik atau umpatan pada pemimpin yang tidak
bertanggung jawab, alias penindas rakyat. Namun, sikap kritis itu kadang tidak diimbangi dengan prilakunya sebagai seorang musisi yang menggaungkan rasa nasionalisme.
Semoboyan “fuck the system”
di kalangan musik punk yang masih mempunyai jiwa nasionalisme kadang
sangat tertanam kuat terpatri di dalam dirinya. Dan hal itu bisa berarti
positif atau pun negatif.
Positifnya
adalah kepedulian mereka pada hal-hal sosial kerap sering dibuktikannya
dengan melakukan aksi-aksi sosial berupa baksos (bakti sosial), atau
sikap pribadinya yang memang masih menjunjung tinggi dan terus berupaya
menanamkan dan menularkan sikap kritisnya itu pada pemerintah agar lebih
baik. Dalam hal ini, berbaur di kehidupan sosial dan menciptaan
semangat nasionalisme dengan lagu-lagunya. Sedangkan sisi negatifnya
adalah menjadi seorang yang tidak peduli pada kehidupan pemerintah,
termasuk pada aturan-aturan sosialnya. Sikap berontaknya pada
pemerintah, bukan dilakukannya untuk membangun hidup sendiri atau
pemerintahnya lebih baik, yang ada malah hidup semaunya, dan bisa jadi
malah meresahkan warga.
Semoga
para musisi punk yang meskipun menggaungkan musik yang keras tetap
terus memupuk jiwa nasionalismenya dan merealisasikan hal itu ke dalam
kehidupan sehari-hari. Jangan hanya berteriak-teriak menggaungkan
nasionalisme sedangkan prilakunya berlawanan dengan aturan-aturan
Pancasila yang sarat akan nilai-nilai kehidupan yang “baik”.
Dasam Syamsudin
0 komentar:
Posting Komentar